
Samarinda (ANTARA) – Jari-jemari keriput Eri Suwiryo tak lagi hanya memegang pahat dan gergaji. Belakangan ini, ada seulas senyum tipis yang sering tersungging di bibirnya setiap kali memandang Nur Asyifa, cucu satu-satunya.
Di rumah kayu mereka yang sederhana, berukuran 4×4 meter di ujung gang yang buntu kawasan Antasari II, Kelurahan Teluk Lerong Ilir Samarinda, Kalimantan Timur, secercah harapan baru mulai terpancar.
Rumah itu, dengan dinding yang dimakan usia, seolah menjadi saksi perjuangan sang kakek berusia 66 tahun, yang merantau ke Kalimantan Timur sedari 1974. Sejak orang tua Syifa tiada, duda mati itu yang merawatnya seorang diri. Sebagai tukang kayu lepas, pendapatan pria kelahiran Tuban itu tak pernah pasti.
“Kadang cukup untuk makan, seringnya harus berhemat habis-habisan,” ucapnya.
Dulu, saat Annisa di SMP Negeri, meski SPP sekolah gratis, napas Eri tetap terasa sesak. Selalu ada kebutuhan lain–seperti seragam, buku, atau sekadar uang jajan agar cucunya tak merasa minder.
Kini, di usia Syifa yang jalan ke-16 tahun, angin segar itu akhirnya datang. Kabar bahwa Syifa diterima di jenjang SMA Sekolah Rakyat Samarinda terasa seperti jawaban atas doa-doanya yang tak terucap.
Harapan yang mekar di gang sempit Kelurahan Teluk Lerong Ilir itu ternyata juga bergaung hingga ke sudut kota yang lain.
Di Kelurahan Sempaja Utara, Samarinda, senyum sumringah terpancar pula di wajah Nurhaidah. Ibu delapan anak ini setiap hari bergelut dengan tanah di ladang singkong bersama suaminya. Mereka memanen pucuk daun singkong untuk dijual ke tengkulak. Harga yang dijual sekadarnya saja, cukup untuk menyambung hidup dari hari ke hari.
Baginya, menyekolahkan anak setinggi-tingginya terasa seperti mimpi yang terlalu mewah. Namun, kini putranya, Muhammad Abdul Hafizi, akan segera mengenakan seragam SMP dari Sekolah Rakyat.
“Rasanya seperti ada yang mengangkat beban berat dari pundak kami,” ujarnya tersenyum.
Tak jauh dari sana, Bunga Tan merasakan kelegaan yang sama. Suaminya, seorang kuli bangunan lepas, seringkali pulang dengan tangan hampa jika tak ada proyek. Melihat putra mereka, Muhammad Randi Arsil, berhasil diterima di SMA Sekolah Rakyat adalah hal yang amat disyukuri.
Eri sang tukang kayu, Nurhaidah yang petani singkong, dan Bunga Tan sebagai istri kuli bangunan. Tiga keluarga, tiga mata pencarian berbeda, namun diikat oleh benang takdir yang sama–kondisi ekonomi tak pasti. Mereka adalah potret keluarga-keluarga yang hidup pas-pasan dari penghasilan serabutan.
Bagi mereka, Sekolah Rakyat bukan sekadar program pendidikan gratis penuh dari Kementerian Sosial. SR merupakan pembawa asa. Pembebas rasa kekhawatiran dari ongkos seragam dan buku yang masih saja jadi beban.
Rumah didik murid prasejahtera
Sekolah Rakyat Terintegrasi (SR) 24 Samarinda resmi membuka pintunya, bukan sekadar sebagai lembaga akademis, tetapi sebagai sebuah rumah baru yang hangat bagi 100 murid prasejahtera jenjang SMP dan SMA.
Dengan sistem asrama penuh, sekolah ini mengusung sebuah misi mulia, yakni memutus mata rantai kemiskinan dengan terlebih dahulu membangun rasa nyaman.
Berlokasi sementara di kompleks Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Kaltim, SR 24 menerapkan model yang berbeda secara fundamental dari sekolah reguler. Di sini, kurikulum utama pada bulan-bulan pertama bukanlah matematika atau fisika, melainkan adaptasi dan pemulihan psikologis.
“Dengan sistem asrama penuh, sekolah ini memprioritaskan kenyamanan dan kesiapan mental siswa sebelum memulai pembelajaran akademik formal,” ungkap Kepala Sekolah Rakyat Terintegrasi 24 Samarinda, Hasyim.
Ia sadar betul, para siswa yang datang dari berbagai latar belakang keluarga dengan tantangan ekonomi ekstrem membawa beban yang tak terlihat.
Karena itu, sekolah ini merancang Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang tak biasa. Jika sekolah lain melakukannya dalam hitungan hari, SR 24 mengalokasikan waktu tiga minggu hingga tiga bulan.
“Yang ingin kami bentuk pertama kali adalah mereka tidak asing dulu dengan lingkungannya. Ini adalah masa persiapan krusial untuk membangun fondasi psikologis mereka,” terang Hasyim.
Selama masa rintisan ini, fokus utama adalah menciptakan lingkungan yang aman dan suportif. Pemerintah menanggung sepenuhnya seluruh kebutuhan siswa, mulai dari makan tiga kali sehari, makanan ringan, hingga delapan setel seragam gratis.
Fasilitas-fasilitas itu membebaskan mereka dari kekhawatiran kebutuhan dasar, sehingga bisa fokus pada proses belajar dan pengembangan diri.
Lebih dari sekadar fasilitas, pendekatan personal menjadi poros dari sistem pendidikan di SR 24. Setiap 10 siswa akan didampingi oleh satu wali asuh. Peran mereka bukan sekadar pengawas, melainkan sebagai mentor, sahabat, dan orang tua pengganti yang siap sedia memberikan dukungan emosional dan bimbingan.
Sistem itu yang dikoordinasikan oleh seorang wali asrama, memastikan tidak ada satu anak pun yang merasa sendirian.
Untuk memahami setiap anak secara mendalam, pihak sekolah melakukan serangkaian tes di awal masa pendidikan.
“Kami perlu melakukan tes untuk memetakan kemampuan dasar, kondisi kesehatan, hingga minat dan bakat mereka,” ujar Hasyim. Pemetaan ini memungkinkan sekolah merancang intervensi yang personal dan tepat sasaran.
SR 24 Samarinda adalah bukti bahwa pendidikan bukan hanya soal transfer ilmu, tetapi juga tentang membangun manusia seutuhnya. Dengan menyentuh akar persoalan—kesejahteraan mental dan rasa aman—sekolah ini tidak hanya memberikan ijazah, tetapi juga harapan dan fondasi yang kokoh bagi generasi muda.
Mengukir harapan
Di sebuah asrama yang terletak di dalam kompleks Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Kalimantan Timur, denyut Sekolah Rakyat baru mulai terasa. Sejak 31 Juli 2025, asrama ini sudah didiami 12 orang guru yang datang dari berbagai daerah, mulai Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga putra-putri daerah dari Samarinda dan Kutai Barat.
Mereka adalah para pionir, garda terdepan dari SR Terintegrasi 24 Samarinda yang siap memulai proses pendidikan pada 15 Agustus 2025.
Kedua belas guru yang mengantongi sertifikat pendidik ini bukan sekadar pengajar, melainkan para pemandu masa depan bagi 100 murid prasejahtera angkatan pertama. Mereka membawa semangat dan dedikasi, meninggalkan kampung halaman untuk mengabdi di pusat Kalimantan Timur.
“Guru-guru mayoritas berasal dari luar Kalimantan Timur, jadi kami sediakan asrama untuk memudahkan mereka,” ujar Indra Bagus Yudistira, Wakil Kepala Pengembangan Mutu/Kurikulum.
Perjalanan pendidikan di sekolah ini tidak akan dimulai secara instan. Sekolah Rakyat Samarinda telah merancang sebuah proses adaptasi yang lebih mendalam. “Proses belajar juga akan diawali dengan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) ditambah program persiapan selama hampir tiga bulan,” jelas Indra.
Tujuannya mulia, menyatukan para siswa yang berasal dari latar belakang beragam dan membiasakan mereka dengan kehidupan berasrama.
Target yang dicapai adalah agar siswa dapat beradaptasi dengan baik. Jadi, setelah program persiapan selesai, barulah mereka mulai dengan materi pelajaran.
Ini adalah fondasi penting yang dibangun sekolah, memastikan bahwa kesiapan mental dan sosial murid sama prioritasnya dengan kesiapan akademis.
Meski semangat membara, jalan yang ditempuh bukannya tanpa tantangan. Kebutuhan ideal Sekolah Rakyat 24 Samarinda adalah 17 guru, yang berarti saat ini masih ada kekurangan lima tenaga pengajar.
Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah mereka. Pihak sekolah telah menyiapkan solusi. “Untuk sementara, guru yang ada akan mengajarkan beberapa mata pelajaran yang dinilai mampu,” kata Indra.
Proses rekrutmen tahap kedua pun masih bergulir, menjadi harapan untuk melengkapi formasi ideal. Saat ini, bidang-bidang studi vital seperti PPKN, Bahasa Inggris, Matematika, Biologi, TIK—yang bahkan memiliki dua guru dengan fokus khusus pada coding dan informatika umum—serta Bahasa Indonesia dan IPS telah terisi.
Nantinya, 100 siswa yang terdiri dari 50 siswa SMP dan 50 siswa SMA dibagi ke dalam empat rombongan belajar, masing-masing berisi 25 anak.
Tanggal 15 Agustus mendatang bukan sekadar hari pertama sekolah. Ini adalah hari di mana asa dirajut, di mana dedikasi belasan guru bertemu dengan harapan 100 anak didik.
Sekolah Rakyat Terintegrasi 24 Samarinda kini memulai perjalanannya, membuktikan bahwa dengan niat dan kerja keras, tantangan dapat diatasi untuk melahirkan generasi baru yang tidak hanya cerdas secara ilmu, tetapi juga matang secara karakter.
Tiga SR rintisan Kaltim
Harapan bagi pendidikan anak-anak dari keluarga miskin ekstrem di Kalimantan Timur kini mulai terwujud. Pemerintah Provinsi Kaltim secara serius menggarap program Sekolah Rakyat, sebuah inisiatif pemerintah pusat yang bertujuan memberikan akses pendidikan berkualitas secara gratis.
Sebagai langkah awal, tiga lokasi di Samarinda telah disiapkan untuk memulai program ini pada tahun ajaran 2025-2026.
Andi Muhammad Ishak, Kepala Dinas Sosial Kaltim menerangkan lokasi rintisan ini memanfaatkan fasilitas yang sudah ada.
Di gedung Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) adalah yang paling siap, dengan jenjang SMP dan SMA. Sementara itu, gedung Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP) serta SMA Negeri 16 Samarinda juga akan membuka kelas untuk tingkat SD, SMP, hingga SMA.
“Semua lokasi ini tidak hanya berfungsi sebagai sekolah, tetapi juga sebagai asrama bagi para siswanya,” ujar Andi.
Program ini secara khusus menyasar anak-anak yang terdata dalam kategori sangat miskin (desil 1 dan 2).
Tidak berhenti di situ, pembangunan sekolah permanen yang lebih besar juga sudah di depan mata. Sebuah lahan di sekitar Stadion Utama Palaran, Samarinda, mulai dibangun saat ini. Sekolah ini nantinya dirancang untuk menampung hingga 1.000 siswa dari SD hingga SMA, dengan anggaran mencapai Rp210 miliar.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
Source link