Kabul (ANTARA) – Di sebuah kota yang dulu terkenal dengan mata air tawarnya, taman-taman yang rimbun, dan aliran sungai yang deras, air bukan lagi menjadi anugerah dari bumi.
Air telah menjadi harta karun yang terkubur ratusan meter di bawah permukaan tanah, dan terus menghilang seiring berjalannya waktu.
Jauh sebelum matahari terbit di wilayah timur Kabul, ibu kota Afghanistan, ratusan warga berkumpul di sekitar sebuah pipa sempit yang mencuat dari tanah yang kering dan retak. Sembari memegang jeriken plastik kosong, mereka tiba dengan harapan sekaligus keputusasaan. Ini bukan sumur biasa, melainkan jalur kehidupan sedalam 300 meter, yang dibor menembus lapisan batuan oleh masyarakat setelah sumber air permukaan mengering.
“Kami telah mengebor sumur sedalam 300 meter di sini, yang digunakan bersama oleh 300 keluarga,” kata seorang warga setempat, Ghulam Sakhi.
“Kami terus menghadapi tantangan serius karena kelangkaan air yang ekstrem di daerah ini,” ujarnya.
Tantangannya sangat berat. Puluhan orang menunggu berjam-jam di satu-satunya keran yang masih berfungsi, ember dan jeriken air mereka berjajar di atas tanah yang berdebu. Di bawah terik matahari, waktu tunggunya sering kali berlangsung selama tiga hingga empat jam. Namun, banyak yang pulang dengan air yang hampir tidak cukup untuk minum, memasak, atau mandi.
“Beberapa mendapatkan air, dan beberapa tidak,” kata Sakhi kepada Xinhua,
“Setiap orang bertahan hidup hanya dengan satu jeriken (sekitar 10 liter) selama dua hari penuh,” ucapnya.
Salah satu dari mereka yang terdampak adalah Hussein Ali, seorang ayah enam anak berusia 62 tahun yang tinggal di daerah terpencil di Kabul.
Setiap beberapa hari, Ali berjalan beberapa kilometer, menarik jeriken-jeriken plastik usang di belakangnya demi mencari air. Ketika akhirnya sampai di keran umum, antrean selalu mengular panjang.
“Orang-orang menunggu tiga, bahkan terkadang empat jam hanya untuk mendapatkan air,” ujarnya kepada Xinhua.
“Dibandingkan tahun lalu, ketersediaan air di sini turun setidaknya 50 persen,” ucapnya.
Dia menunjuk ke tanah kering di bawah kakinya, tanah yang telah disiram tetapi sekarang tidak lagi menghasilkan air.
“Sumur-sumur yang dulunya mencapai kedalaman 90 atau 100 meter telah mengering sepenuhnya,” ujarnya.
Menurut laporan Program Pemukiman Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-Habitat) baru-baru ini, Kabul sedang menghadapi krisis air yang belum pernah terjadi sebelumnya. Permukaan air tanah telah turun secara signifikan, menempatkan lebih dari 6 juta penduduk Kabul dalam risiko serius. Laporan tersebut memperingatkan bahwa upaya lokal saja tidak akan cukup untuk menghentikan kondisi yang terus memburuk ini.
“Menangani krisis ini membutuhkan investasi skala besar, kolaborasi yang kuat, dan peningkatan kesadaran publik tentang penggunaan dan pengelolaan air,” tulis laporan tersebut.
Direktur Jenderal Perusahaan Penyedia Air dan Pembuangan Limbah Perkotaan Mawlawi Ghulam Rahman Kazem menyebutkan sederet faktor penyebab krisis air yang terjadi, termasuk perang selama puluhan tahun, kekeringan berkepanjangan, perubahan iklim, pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, pengeboran sumur yang tidak teregulasi, dan sistem pembuangan limbah yang sangat usang.
“Kami memiliki 84 sumber air di Kabul,” ujar Kazem kepada Xinhua.
“Empat puluh enam di antaranya telah mengering akibat perubahan iklim. Sisanya juga perlahan menghilang, hari demi hari.”
“Dengan sumber daya yang kami miliki saat ini, kami benar-benar tidak dapat memenuhi kebutuhan warga Kabul.”
Menurut sebuah laporan yang dipublikasikan pada Mei oleh Mercy Corps, sebuah badan amal pembangunan internasional, krisis air Kabul hampir mencapai titik kritis. Pengambilan air tanah kini secara drastis melampaui tingkat pengisian ulang alami, dan hampir separuh sumur bor kota tersebut telah mengering. Tanpa intervensi yang cepat dan terkoordinasi, Kabul bisa menjadi ibu kota modern pertama yang benar-benar kehabisan air sepenuhnya, demikian diperingatkan laporan tersebut.
Kontaminasi menambah lapisan urgensi lainnya. Hingga 80 persen air tanah di kota itu tidak layak untuk dikonsumsi, dengan kadar limbah, arsenik, dan salinitas yang sangat tinggi, menimbulkan risiko kesehatan masyarakat yang serius.
Untuk saat ini, keluarga seperti Sakhi dan Ali menanggung beban tersebut dalam diam, berjalan, menunggu, dan membagi setiap tetes air yang berharga. Ketika air semakin dalam dan antrean semakin panjang, warga Kabul tetap terombang-ambing dalam perjuangan sehari-hari demi bertahan hidup.
Pewarta: Xinhua
Editor: Indra Arief Pribadi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.